Deny Wasawi
4 min readMar 26, 2019

Kemanusiaan dan Ketidaksempurnaan Manusia.

Photo by Mike Labrum on Unsplash

Seorang teman pernah tiba-tiba bertanya padaku: Apa itu kemanusiaan? Aku yang sedang tidak memikirkan hal-hal semacam itu pun terkejut dengan pertanyaannya. Sambil pura-pura memikirkan jawabannya, aku mengambil ponselku dan melakukan pencarian di KBBI daring. Hasilnya membuatku memiringkan kepala juga:

1. n sifat-sifat manusia
2. n secara manusia; sebagai manusia
3. n Huk sifat yang melandasi hubungan antarmanusia

Aku mencoba menjelaskan dengan pengertian yang kubaca dari KBBI, bahwa kemanusiaan adalah perihal sifat-sifat manusia, perihal yang membuat manusia menjadi manusia (meski aku sendiri tak sepenuhnya paham dengan jawabanku). Namun, jawaban tersebut justru menimbulkan pertanyaan lain: Manusia itu apa dan seperti apa?

Kemarin, media sosial sempat ramai perihal perilaku pengguna saat uji coba Mass Rapid Transit (MRT) Jakarta. Ada pengguna yang melihat pengguna lain tidak tertib dan mengganggu kenyamanan. Dia memfoto lalu mengunggah kejadian tersebut di media sosial, tak lupa dengan caption yang pada akhirnya menjadi kontroversi. Orang-orang yang menemukan unggahan tersebut, memberikan banyak respon dari yang sependapat hingga kontra. Selama beberapa hari hal tersebut terus menjadi perdebatan di media sosial dan merembet ke berbagai hal. Sampai sebuah unggahan foto tisu yang tersangkut di kursi penumpang kendaraan umum muncul di lini masaku. Ada keterangan di unggahan foto tersebut yang menyatakan (kurang lebih) si pengunggah kehilangan kepercayaannya pada kemanusiaan karena menemukan tisu yang ditinggalkan pemiliknya itu. Mungkin si pengunggah hanya ingin mengungkapkan kekecewaannya dengan majas hiperbola, tapi bukan itu yang menggangguku. Saat melihat unggahan tersebut, pertanyaan tentang apa itu kemanusiaan dan manusia muncul lagi di kepalaku.

Jika kalian mengikuti perdebatan yang kumaksud, kalian akan dengan mudah menemukan orang-orang yang menghina satu sama lain, merendahkan yang lain, dan merasa lebih benar dan pintar. Fenomena tersebut mungkin sudah berlangsung lebih lama sebelum perihal MRT ini. Namun, yang menjadi poinku adalah: Apakah memang sifat manusia seperti itu? Apakah sifat tersebut termasuk sifat-sifat yang ada dalam pengertian kemanusiaan?

Sebagian besar dari kita pasti akan mengatakan bahwa sifat tersebut bukanlah sesuatu yang mencerminkan kemanusiaan. Jika kita sepakat pada pernyataan ini, sifat-sifat seperti apa yang disebut kemanusiaan? Sifat-sifat seperti apa yang menjadikan manusia sebagai manusia? Bukankah sifat yang disebutkan sebelumnya adalah bentuk dari manusiawi? Apakah manusiawi tidak cukup untuk menjadikan seseorang sebagai manusia?

Beberapa hari sebelum ramai-ramai perihal uji coba MRT, ada kejadian yang lebih menggemparkan. Pada 15 Maret 2019, tragedi mengerikan terjadi di Christchurch, Selandia Baru. Saat penduduk muslim kota tersebut sedang menjalankan ibadah salat Jumat, sekelompok orang melakukan tindakan kejam (mungkin kalian punya istilah kalian sendiri, tapi aku tak ingin berdebat tentang itu) yang menewaskan 50 orang. Lagi-lagi kata “kemanusiaan” bergulir dengan mudah di berbagai media.

Salah satu yang cukup viral tentang tragedi di Christchruch adalah sebuah pernyataan dari politikus Australia tentang kejadian tersebut. Pernyataannya menuai kontroversi karena (jika dirangkum, dan mungkin akan ada salahnya) dia menilai tragedi tersebut terjadi karena kebijakan pemerintah yang mengijinkan imigran tinggal di negaranya. Banyak yang kecewa (bahkan marah) dengan pernyataannya. Orang menyebutnya tidak punya kemanusiaan lagi.

Kemanusiaan sering disebut ketika ada tragedi-tragedi besar seperti pembunuhan masal, bencana yang memakan banyak korban, orang-orang yang tertindas, dan tragedi lainnya yang membuat (kita sebagai) manusia (seharusnya) merasa sedih. Orang-orang menyebut kepedulian kita terhadap tragedi tersebut bukan sekadar simpati, tapi tindakan kemanusiaan. Semua bentuk kesedihan kita, bahkan kemarahan kita, adalah bentuk kemanusiaan (?).

Dari hal-hal yang sering kita alami, yang sering kita saksikan, kemanusiaan lebih disandarkan pada sifat-sifat baik manusia. Ketika seseorang dengan baik hati menolong orang yang kesusahan, kita menyebutnya sebagai kemanusiaan. Namun, baik dan buruk adalah sesuatu yang sangat relatif, bukan? Sesuatu yang ditentukan oleh keyakinan masing-masing orang dan dikuatkan oleh kesepakatan sekelompok orang.

Bagaiman jika sesuatu yang kita sebut buruk diyakini sekelompok orang yang menganggapnya baik. Dan jika mereka memperjuangkan hal yang dianggap baik itu, apakah kita bisa menyebutnya tindakan kemanusiaan? Apakah algojo yang mengeksekusi mati seseorang karena kejahatannya, bisa kita sebut sebagai tindakan kemanusiaan? Apakah seseorang yang memukul orang lain karena temannya dipukul orang lain tersebut karena orang lain tersebut dipukul lebih dulu adalah sebuah tindakan kemanusiaan?

Kemanusiaan adalah sebuah konsep yang rumit tapi kita selalu dengan mudah mengatakannya seperti menyebutkan nama kita sendiri. Kemanusiaan yang selalu diajarkan kepada kita sejak kecil selalu identik dengan kebaikan manusia. Mungkin dulu aku adalah anak kecil yang tidak dipenuhi rasa ingin tahu. Aku menerima konsep kemanusiaan seperti apa yang sebagian besar kita yakini saat ini.

Namun akhir-akhir ini aku terlalu banyak bertanya dan lebih banyak meragukan.

Perihal kemanusiaan, bagaimana jika konsep kemanusiaan yang kita yakini adalah alat untuk menutupi ketidaksempurnaan kita melihat sesuatu secara utuh? Saat kita tidak bisa melihat motif seseorang dan kita ingin bertindak, kita berlindung di balik konsep kemanusiaan untuk menutup mata apakah tindakan kita adalah hal baik atau buruk, mungkinkah?

Bandung, 26 Maret 2018
Semoga yang kita yakini bukan sekadar kenginan kita saja.

Deny Wasawi
Deny Wasawi

No responses yet