Tiba dan Meninggalkan
Ia masih penuh pikiran. Duduk diam di ruang tunggu peron stasiun. Meski sudah melakukannya berulang kali, ia masih belum terbiasa. Tak tahu harus berapa kota lagi yang harus ia singgahi agar terbiasa meninggalkannya.
Lima tahun. Waktu begitu singkat baginya. Benar-benar singkat. Tak terpikirkan bahwa waktu yang akan ia habiskan di kota ini akan berlalu begitu cepat.
Lima tahun lalu ia datang ke kota ini tanpa ekspektasi apa pun. Hanya ingin memulai hidup baru, walau sementara. Saat menginjakkan kaki di stasiun ini, isi kepalanya masih tertinggal di kota sebelumnya. Namun keributan di luar stasiun langsung mengembalikan pikirannya.
Dua orang berseragam petugas stasiun sedang meneriaki seseorang. Anak kecil, sekitar umur 12 tahun, berdiri di hadapan mereka. Lengannya menutupi kepalanya. Anak tersebut berdiri ketakutan. Terintimidasi oleh dua orang berbadan besar di hadapannya. Petugas stasiun terus memarahinya, sambil sesekali memukulnya. Orang-orang di sekitar hanya melihat, lalu pergi seolah itu adalah hal yang biasa. Karena tak pandai menahan diri, akhirnya ia malah ikut campur ke dalam masalah tersebut di hari pertamanya tiba di kota ini.
Namun ia tak pernah menyangka bahwa keterlibatannya dalam keributan itu, menjadi awal dari lima tahunnya yang membuatnya berat meninggalkan kota ini. Anak kecil tersebut sekarang sudah remaja. Meski masih muda, bocah kecil yang dulu ketakutan di hadapan petugas stasiun, kini tumbuh menjadi pemuda yang menolong orang-orang terkucilkan dan terabaikan di kota ini.
Setiap orang akan menjalani takdirnya masing-masing. Itulah yang ia percayai. Bagi anak kecil itu, mungkin takdirnya adalah menolong orang-orang yang bernasib sama dengan yang dialaminya dulu. Mungkin juga bukan itu takdirnya. Tak ada yang tahu. Namun ada satu takdir yang ia tahu. Takdir yang sudah ditentukan untuk dirinya sejak dulu. Menjalani hidup sebagai nomad, hidup dari satu tempat ke tempat yang lain. Tiba dan meninggalkan.
Suara lokomotif mulai terdengar dari kejauhan. Samar tapi semakin jelas. Roda besi yang bergesek dengan rel memberikan suara yang sangat khas. Kereta sudah dekat. Orang-orang mulai berkumpul. Dengan langkah yang masih berat, ia berjalan ke arah kadatangan kereta.
Dalam hati ia mulai menghitung. Empat puluh lima. Jumlah kota yang pernah ia singgahi. Termasuk kampung halamannya dan kota yang akan segera ia tinggalkan. Dua ratus empat puluh sembilan. Tahun yang telah ia lalui. Dan masih terus menghitung.
Sedang mencoba menangkap ide-ide kecil ke dalam tulisan sebelum menguap dan lupa. Bukan tulisan yang menakjubkan, tapi semoga tetap menghibur.
Bandung, April 2020