Deny Wasawi
3 min readDec 14, 2019

Satu Sentimeter

Dulu, setiap dua atau tiga bulan sekali, ayahku selalu mengajakku ke tukang cukur. Tentu saja untuk memotong rambutku yang dianggap sudah panjang. Namun, aku masih tidak paham kenapa rambutku perlu dipangkas padahal jelas-jelas rambut kakakku jauh lebih panjang, juga ibuku.

Ketika memasuki bangku sekolah, aku diberitahu sebuah peraturan: anak laki-laki rambutnya tidak boleh panjang — dan aturan lain yang mengatur penampilan kami. Alasannya mungkin sederhana: agar terlihat rapi, agar tidak seperti anak nakal, dan agar-yang-lain yang mungkin pernah kamu dengar. Mau tidak mau, aku selalu pergi ke tukang cukur kalau rambutku sudah terlihat panjang.

Saat memasuki bangku SMA, aku ‘terjebak’ ke dalam sebuah ekstrakurikuler di sekolah — urusan ‘terjebak’ ini adalah cerita lain. Yang jelas, di ekskul itu aku terpaksa memangkas rambutku sependek-pendeknya, setipis-tipisnya, dan tidak hanya sekali. Setiap ada acara ‘besar’ di ekskul itu, hampir bisa dipastikan akan selalu ada ‘ritual’ potong rambut. Untungnya setelah menjadi alumni aku sudah tidak terikat dengan hal-hal semacam itu lagi.

Dari kecil hingga SMA, potong rambut sudah jadi hal yang biasa. Jika boleh memilih, tentu aku memilih untuk tidak mencukur rambutku. Bukan karena aku ingin punya rambut panjang, tapi kenapa aku harus potong rambut? Aku tidak merasa punya masalah dengan rambutku. Namun, tetap saja aku selalu berakhir ke tukang cukur jika rambutku sudah terlihat panjang.

Tidak ada yang spesial dari pengalaman di atas. Tentu saja, apa yang spesial dari anak laki-laki pergi ke tukang cukur setiap beberapa bulan sekali ketika rambutnya sudah panjang?

Di masa kuliah, tidak ada aturan untuk tidak boleh berambut panjang, yang berarti aku punya kebebasan untuk memotong rambut atau membiarkannya panjang. Tentu aku memilih untuk memanjangkan rambutku. Jelas karena: kenapa harus memotongnya?

Waktu rambutku sudah mulai terlihat panjang, beberapa orang mulai bertanya kenapa aku memanjangkan rambutku. Aku punya jawabannya, tapi tentu aku tidak ada niatan untuk bertanya balik kenapa aku harus potong rambut. Daripada menyuruh orang yang bertanya untuk berpikir, padahal yang ia minta hanya sebuah jawaban, tentu aku hanya menjawab, “Ya ingin aja.”

Namun pada suatu titik, aku benar-benar baru sadar bahwa yang sulit bukan hanya persoalan memanjangkan, tapi juga persoalan kenapa harus potong rambut. Setelah memanjangkan rambut pun aku masih tak punya jawaban dari pertanyaanku. Hingga ada suatu masa di mana rambutku terasa sudah tidak nyaman dengan aktivitasku saat itu. Kebetulan juga semua hal sedang terasa melelahkan, aku butuh hal lain untuk dilakukan. Namun aku penuh keraguan untuk memotong rambutku. Mungkin akan terdengar berlebihan, tapi rasanya begitu sayang jika rambut itu dicukur begitu saja. Saat itu aku merasakan apa yang mungkin dirasakan teman-teman perempuan yang hendak memotong rambut panjangnya, ragu.

Pada akhirnya aku memutuskan untuk memotong rambutku dan orang-orang mulai bertanya lagi, kenapa aku potong rambut. Aku punya alasannya, tapi aku sendiri merasa kurang yakin untuk menceritakannya, jadi hanya kujawab, “Ya ingin aja.”

Aku membiarkan rambutku panjang lagi dan pada suatu titik aku dihadapkan lagi dengan keputusan untuk memotongnya. Begitu lagi hingga beberapa kali aku memangkas rambut dengan alasanku sendiri. Salah satu alasan paling konyol: aku ingin melakukan sesuatu yang bisa kusesali.

Bukankah melegakan jika kita tahu alasan dari tindakan atau keputusan kita? Bahkan jika orang lain tidak dapat memahaminya.

Bandung, 15 Desember 2019
hari ini lebih pagi.

Deny Wasawi
Deny Wasawi

No responses yet