Sebuah essai tentang diri sendiri

Deny Wasawi
6 min readFeb 10, 2024

--

Photo by Hasan Almasi on Unsplash

“Jelaskan tentang diri anda.”

Sebuah pertanyaan yang rasanya belum pernah ditanyakan orang lain kepadaku. Pertanyaan ini mungkin sering ditanyakan dalam sebuah interview. Namun sejauh pengalamanku, tidak seorang pun menanyakan pertanyaan ini.

Aku sering memikirkan pertanyaan ini di antara lamunanku, tapi tidak pernah benar-benar memikirkan apa jawabannya. Kenapa pertanyaan ini kadang terpikir olehku? Aku juga tidak benar-benar ingat. Namun untuk kali ini, pertanyaan ini muncul ketika aku memperhatikan seorang anak kecil dan membayangkan jika nanti sudah besar, dia akan menjadi orang seperti apa. Lalu aku pun bertanya pada diri sendiri, saat ini aku adalah orang yang seperti apa?

Tentu jawaban dari pertanyaan ini akan sangat subjektif. Mungkin hal-hal yang aku tuliskan nanti tidak sepenuhnya sesuai dengan pandangan orang lain tentang diriku. Jika ada seseorang yang mengenalku dan punya pandangan yang berbeda, tentu kalian tahu aku akan bodo amat, tapi aku akan sangat senang bisa mendengar pendapat kalian.

Karena ini bukanlah interview, tentu aku tidak akan menjawab ini untuk memuaskan orang yang akan bertanya. Jika tulisanku melenceng kemana-mana, mohon tetap dibaca saja. Jika di lihat dari medium, ini tulisan pertama sejak November 2022, jadi aku sudah benar-benar lupa caranya menulis seperti dulu.

“Keluarga adalah pendidikan pertama.”

Aku punya keyakinan bahwa pendidikan adalah faktor paling besar dalam membentuk karakter kita. Bukan sekadar soal pengetahuan yang menjadikan kita lebih pintar, tapi juga pengetahuan yang mengasah alam bawah sadar kita untuk terus berpikir. Pendidikan di sini adalah proses menerima dan memahami sesuatu, apa pun itu.

Pendidikan melatih kita untuk berpikir. Saat berpikir itu sudah ada di alam bawah sadar, kita akan cenderung berpikir dahulu sebelum mengambil keputusan. Dan keputusan yang kita ambil tentu akan ditentukan oleh kemampuan dan cara kita berpikir.

Keluarga, selain sebagai rumah pertama, disebut juga sebagai pendidikan pertama. Saat kita masih bayi dan belum mempunyai kemampuan berpikir seperti sekarang, yang kita lakukan adalah mengamati dan meniru. Dari hal-hal kecil seperti mengucap nama atau menunjuk sesuatu, kita belajar cara sederhana berkomunikasi dengan orang lain. Sebelum kita bisa berbicara dan menyusun kata-kata, kita telah diajari cara mengutarakan keinginan kita — tapi kenapa saat kita punya kuasa atas kata-kata kita, mengutarakan keinginan kadang jadi hal yang sulit?

Kembali ke Aku sebagai yang ingin menjawab pertanyaan. Bagaimana keluargaku menjadi pendidikan pertamaku? Jawaban sederhananya mungkin akan seperti keluarga asia pada umumnya — mendidik anaknya agar taat dan patuh pada orang tua, tapi tidak pernah mengajari anaknya cara mengekspresikan perasaannya kepada keluarga sendiri.

Tanpa mengecilkan kerja keras dan kasih sayang orang tua untuk membesarkan anaknya, tapi dulu sebagai anak kecil, aku merasa tidak mendapat kasih sayang yang cukup. Aku hanya diajari tentang hal-hal yang seharusnya aku lakukan, seperti belajar, membantu pekerjaan rumah, dan sebagainya — tapi kalau diingat lagi, aku lebih banyak mendapat larangan daripada arahan. Setiap selesai melakukan hal yang diminta, aku tidak pernah mendengar ucapan “terima kasih”. Meski aku juga tidak menuntut ucapan tersebut, mungkin semua akan terasa berbeda jika hal tersebut dicontohkan dari dalam keluarga. Pada akhirnya aku belajar mengenai tiga mantra tolong, terima kasih, dan maaf dari tempat lain.

Selain soal norma yang pada akhirnya aku pelajari dari pendidikan di tempat lain, karakter orang tualah hal yang cukup melekat di dalam benakku. Mungkin saat aku masih tinggal bersama orang tua, aku tidak terlalu menyadarinya. Namun setelah tinggal jauh dari orang tua dan sesekali pulang ke rumah, membuatku sadar bahwa karakter orang tuaku cukup kuat mempengaruhi diriku saat ini.

Ayahku adalah orang yang sangat keras kepala. Jika dia punya keyakinan A, dia tidak akan mau menerima pendapat lain selain A. Mungkin dari sikap keras kepala yang sering aku hadapi ini, aku jadi ingin menghindari sikap ini. Namun entah bagaimana, aku jadi seseorang yang tidak yakin dengan apa yang kuyakini, karena kadang aku berpikir bagaimana jika ada hal lain yang lebih benar dari apa yang kuyakini? Bagaimana jika ada keputusan yang lebih baik dari keputusanku? Tidak ingin menjadi orang yang keras kepala, tapi berakhir menjadi orang yang terlalu meragukan keputusan diri sendiri.

Ibuku adalah orang yang terlalu lembut, tapi juga terlalu overthinking. Semua skenario buruk selalu saja terlintas di dalam pikirannya. Saat aku pulang ke rumah, beberapa saat kemudian dia langsung menanyakan bagaimana keadaan ijazahku, apakah sudah disimpan dengan aman? apakah tidak ada rayap yang akan merusaknya? — tentu aku selalu memberi jawaban untuk menenangkannya, meski kalau dipikir lagi aku lupa di mana menyimpan ijazahku.

Namun dari semua pertanyaan tersebut, dia selalu mengkhawatirkan hal lain selain dirinya sendiri. Dari sini ada hal yang bercampur aduk di dalam diriku. Di satu sisi, aku jadi mudah mengkhawatirkan hal lain, di saat bersamaan aku juga mencoba tidak peduli dengan hal lain. Saat mengobrol dengan seseorang, aku sangat menghindari bertanya tentang hal pribadi karena aku tidak tahu apakah pertanyaan itu nyaman untuk lawan biacaraku dan aku berusaha untuk tidak peduli dengan hal-hal lain yang tidak ada hubungannya denganku. Namun di lain sisi, aku sangat senang mendengar orang bercerita tentang dirinya, tentang hari-harinya, tentang masalah yang sedang dihadapinya, tentang apa pun dari dirinya.

Aku dan kekuranganku saat ini bukanlah kesalahan orang tuaku, tapi hanya ketidakmampuan orang tuaku dalam menyampaikan kasih sayang mereka. Aku bisa memahami ketulusan mereka dari setiap tindakan atau teguran mereka. Mungkin karena mereka tidak pernah diajari bagaimana cara mengekspresikan kasih sayang.

“Ekstrovert atau Introvert?”

Jika membaca dari tulisan sebelumnya, sepertinya tanpa dijelaskan pun orang dapat menebak apakah aku seorang yang ekstrovert atau introvert. Namun tak jarang ada yang tidak percaya saat aku bilang diriku seorang introvert. Mungkin mereka punya gambaran seorang introvert itu adalah seorang yang pendiam dan pemalu. Padahal itu adalah hal yang berbeda, meski kebanyakan orang introvert cenderung seperti itu.

Kesalahan konsepsi ini sepertinya sudah sangat dianggap wajar. Seorang introvert adalah pendiam sedangkan ekstrovert adalah orang yang banyak bicara. Padahal stereotype tersebut hanyalah apa yang terlihat di permukaan saja. Seorang introvert juga bisa banyak bicara, bisa menanggapi lawan bicara, tapi pada akhirnya mereka butuh waktu sendiri untuk mengisi lagi energinya. Berbeda dengan seorang ekstrovert yang energinya justru bertambah saat mengobrol dengan orang lain.

Mereka yang gugup atau malu saat berbicara dengan orang lain, bukanlah karena mereka introvert, tapi karena mereka punya gangguan kecemasan (ringan). Faktornya bisa banyak, seperti tidak biasa bersosialisasi atau pernah punya trauma saat bersosialisasi — tapi karena aku bukan seseorang yang punya kapasitas untuk berbicara soal ilmu psikologi, jadi tolong cari referensi masing-masing yang lebih kredibel saja.

Kembali lagi ke Aku, seseorang yang mengaku introvert. Awalnya aku juga punya masalah untuk bersosialisasi dengan orang baru. Tidak pernah diajari cara mengekspresikan sesuatu, membuatku canggung untuk memulai percakapan dengan seseorang. Yang ada di dalam pikiranku selalu pertanyaan: “Bagaimana kalau yang aku sampaikan tidak menarik? Bagaimana jika perkataanku menyinggung orang lain? Apakah orang lain akan paham dengan apa yang aku bicarakan?”. Untuk orang yang sudah cukup saling kenal, aku tidak ada masalah untuk mengobrol. Namun untuk orang baru atau yang jarang berinteraksi, aku cuma bisa berharap lawan biacaraku dapat mengambil alih pembicaraan.

Mencari topik pembicaraan adalah kelemahanku — mungkin juga untuk para introvert yang lain. Contoh sederhana adalah di tempat kerja. Di sela-sela pekerjaan atau jam istirahat, apa yang aku bicarakan pasti hanya seputar pekerjaan, karena itu adalah hal yang sama-sama kami pahami. Jika membahas hal lain di luar pekerjaan, aku hanya bisa menimpali saja, tidak pernah menginisiasi pembahasannya. Namun semakin sering bertemu dan berinteraksi dengan seseorang, membuatku semakin lancar dalam menanggapi topik pembicaraan. Karenanya aku cukup senang jika bisa berteman dengan ekstrovert, sedikit demi sedikit aku bisa membangun kepercayaan diri sendiri.

Ada beberapa hal yang rasanya masih bisa kuceritakan, tapi tulisan ini rasanya sudah cukup panjang untuk essai yang tidak terlalu memberikan manfaat. Mungkin setelah ini aku akan lupa untuk melanjutkan tulisan ini, tapi aku akan berusaha untuk menulis lebih banyak lagi di tahun ini dan mencatat hal-hal yang sempat singgah di kepalaku.

Semoga hari kalian menyenangkan~

Karanganyar, 10 Februari 2024.

--

--